Terdapat berbagai kebijakan pemerintah dalam aspek keuangan suatu negara, sanering adalah salah satunya. Kebijakan yang satu ini menuai pro dan kontra karena dampak yang ditimbulkan. Namun, apakah Anda mengetahui istilah sanering? Apa saja dampaknya dan pengaruhnya kepada perusahaan? Simak melalui penjelasan di bawah ini!
Pengertian Sanering
Sanering adalah kebijakan pemerintah dengan pemotongan nilai mata uang yang beredar dengan tujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat. Kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah jika suatu negara sedang mengalami hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi).
Istilah sanering sering disama-artikan dengan istilah redenominasi. Redenominasi sendiri memiliki arti yaitu penyederhanaan nilai mata uang, misalnya uang Rp1.000 disederhanakan menjadi Rp100 tetapi nilainya tidak berubah. Sedangkan sanering adalah pemotongan nilai mata uang, sehingga nilai mata uang menjadi lebih rendah dari nilai sebelumnya.
Sejarah Sanering di Tahun 1950, 1959, dan 1965
Sanering pernah beberapa kali diterapkan di Indonesia sebanyak 3 kali. Di bawah ini adalah penjelasan mengenai sejarah sanering di Indonesia:
1. Tahun 1950
Sanering pertama kali terjadi di Indonesia terjadi pada tahun 1950, tepatnya pada tanggal 19 Maret 1950. Istilah โGunting Syarifudinโ muncul ketika Menteri Keuangan, Syafruddin Prawiranegara menggunting uang kertas senilai Rp5 menjadi dua bagian.
Guntingan uang kertas sebelah kiri tetap menjadi alat pembayaran yang sah senilai Rp2,5, sedangkan bagian uang kertas sebelah kanan tidak ada nilainya. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tersebut bertujuan untuk mengurangi nilai mata uang dan juga daya beli masyarakat akibat hiperinflasi.
2. Tahun 1959
Kedua, sanering terjadi pada tanggal 25 Agustus 1959 setelah hasil rapat yang diumumkan melalui Radio Rakyat Indonesia (RRI) oleh Menteri Muda Penerangan Maladi sekitar pukul 14.30.
Hasil rapat tersebut berisi menurunkan jumlah uang yang beredar dengan cara menurunkan nilai 2 mata uang kertas yang memiliki nominal tersebar. Yaitu Rp500 menjadi Rp50 dan Rp1.000 menjadi Rp100.
Masing-masing penurunan tersebut ditetapkan sebesar 10% tiap nominal. Akibat dari penurunan tersebut, pusat perbelanjaan dan juga bank mendadak ramai dikunjungi oleh masyarakat yang ingin berbelanja dan juga menukarkan uang pecahan Rp1.000 dan Rp500.
Peraturan tersebut mulai efektif pada keesokan harinya pada tanggal 25 Agustus 1959. Akibat kurangnya sosialisasi dan tidak meratanya penyebaran informasi, kerusuhan besar-besaran pun tidak bisa dihindari.
Baca juga: Pengertian dan Pengaruh Inflasi pada Perusahaan
3. Tahun 1965
Pada 13 Desember 1965, Soekarno juga melakukan kebijakan sanering dengan memotong tiga nol di belakang angka rupiah dari Rp1.000 menjadi Rp1. Hal tersebut terjadi karena konfrontasi dengan Malaysia yang bertujuan untuk memelihara koalisi semu segitiga antara Soekarno, TNI, dan PKI.
Sanering pada tahun 1965 juga dilakukan karena pemerintah harus membiayai Asian Games di tahun 1962 yang menyebabkan utang negara semakin besar. Akibat kejadian tersebut, Indonesia mengalami inflasi sebesar 650%.
Dampak Saneringย
Pada dasarnya, kebijakan ini dilakukan pemerintah bertujuan untuk mengembalikan situasi perekonomian negara. Tentu saja dengan diterapkannya kebijakan tersebut muncul dampak positif dan juga negatif yang dirasakan masyarakat Indonesia.
1. Dampak Positif
Setelah menerapkan kebijakan sanering, terdapat beberapa hasil yang berdampak positif pada sistem perekonomian Indonesia. Antara lain:
a. Mengembalikan Laju Perekonomian Negara
Diberlakukannya kebijakan tersebut pada tahun 1950 dapat mengatasi situasi ekonomi negara yang belum stabil setelah kemerdekaan seperti inflasi yang sangat tinggi, utang negara, dan juga melambungnya harga barang pokok. Adanya sanering tersebut dapat mengisi kekosongan kas negara dan juga menurunkan harga-harga akibat inflasi.
b. Menurunkan Lonjakan Inflasi
Kebijakan sanering pada tahun 1959 dapat membantu pemerintah dalam menekan lonjakan inflasi dan juga menutup utang pemerintah dengan cara membekukan simpanan (giro dan deposito) yang diganti menjadi simpanan jangka panjang.
c. Mengurangi Jumlah Uang yang Beredar
Sanering yang diberlakukan pada tahun 1965 berhasil dalam mengurangi jumlah uang yang beredar akibat hiperinflasi. Sehingga masyarakat mulai berani untuk membelanjakan uang mereka.
Baca juga:ย Memahami Perilaku Konsumen dalam Kehidupan Bisnis
2. Dampak Negatif
Selain dampak positif, kebijakan sanering juga berdampak negatif pada perekonomian negara. Beberapa dampak negatif yang terjadi adalah:
a. Panic Buying
Akibat keterlambatannya informasi mengenai kebijakan sanering pada tahun 1959, masyarakat langsung membelanjakan pecahan uang Rp500 dan juga Rp1.000 ke pusat perbelanjaan. Hal ini menyebabkan panic buying pada masa itu.
b. Kesulitan Perekonomian Masyarakat
Sanering yang diberlakukan pada tahun 1950 dirasa kurang tepat karena tidak melihat kondisi ekonomi masyarakat. Dengan pemotongan nilai mata uang, terjadi penurunan daya beli masyarakat akibat kesulitan ekonomi yang sedang mereka alami.
c. Kesulitan Likuiditas
Akibat pembekuan simpanan tabungan membuat bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Likuiditas sendiri adalah kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi memenuhi kewajiban atau utang yang harus segera dibayar dengan harta lancarnya.
d. Penurunan Drastis Nilai Mata Uang
Sanering yang diberlakukan pada tahun 1965 membuat penurunan drastis nilai rupiah yang tadinya Rp1.000 menjadi Rp1. Setelah itu, terjadi depresiasi nilai rupiah yang menyebabkan krisis finansial di tahun 1997 dan juga membuat nilai rupiah semakin tidak ada harganya.
Kesimpulan
Inflasi yang terus melambung tinggi, membuat pemerintah melakukan kebijakan sanering untuk menurunkan tingkat inflasi. Sanering adalah pemotongan nilai mata uang yang beredar dengan tujuan menurunkan tingkat inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
Kebijakan ini tidak selalu berdampak baik pada perekonomian, dampak negatif juga dirasakan oleh masyarakat, perekonomian negara, hingga perusahaan. Semoga informasi di atas dapat menjadi pembelajaran dan menambah wawasan!