Matahara: Diskriminasi terhadap Pekerja Wanita yang Hamil dan Melahirkan

.

Isi Artikel

Bagikan Artikel Ini :

Matahara: Diskriminasi terhadap Pekerja Wanita yang Hamil dan Melahirkan
Isi Artikel

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kerja semakin memperhatikan pentingnya lingkungan kerja yang inklusif, adil, dan mendukung kesejahteraan karyawan. Namun, satu isu krusial yang masih kerap luput dari perhatian adalah Maternity Harassment, atau yang dikenal di Jepang dengan istilah “matahara”. Fenomena ini merujuk pada perlakuan tidak adil dan diskriminasi di tempat kerja yang diterima oleh perempuan hamil atau baru saja melahirkan.

Di Indonesia, seiring dengan bertambahnya peran wanita dalam dunia kerja, risiko matahara pun meningkat. Tanpa kesadaran yang tinggi dari manajemen, terutama dari tim HR, fenomena ini dapat dapat membawa berbagai dampak negatif.

HR memiliki peran kunci dalam menciptakan kebijakan dan budaya kerja yang melindungi hak-hak karyawan, termasuk hak atas kehamilan, cuti melahirkan, dan kembali bekerja tanpa diskriminasi. Artikel ini akan membahas secara mendalam apa itu Matahara, dampaknya, regulasi terkait cuti hamil di Indonesia, serta bagaimana peran aktif HR dalam mencegah dan mengatasi isu ini.

Apa itu Maternity Harassment

Maternity Harassment atau Matahara adalah bentuk diskriminasi atau pelecehan yang dialami perempuan hamil atau ibu baru di tempat kerja. Istilah ini pertama kali populer di Jepang dan kini digunakan secara global. 

Fenomena ini meliputi pelecehan verbal, pengurangan tanggung jawab secara sepihak, memaksa seorang wanita hamil untuk mengerjakan tugas yang berlebihan, hingga memberikan tekanan untuk mengundurkan diri setelah melahirkan.

Sementara itu, bagi kandidat, interview adalah kesempatan untuk menunjukkan potensi, menonjolkan kelebihan, dan mendapatkan gambaran lebih jelas tentang pekerjaan yang ditawarkan.

Baca Juga: Disparate Impact: Diskriminasi Pekerja dalam Bentuk Lain

Dampak Maternity Harassment terhadap Perusahaan dan Karyawan

Dampak dari matahara sangat merugikan, tidak hanya bagi individu yang menjadi korban, tetapi juga bagi organisasi secara keseluruhan:

Bagi Karyawan:

  • Stres dan tekanan mental: Diskriminasi yang diterima oleh pekerja wanita yang sedang hamil dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin.
  • Meningkatnya rasa tidak nyaman: Adanya matahara menciptakan lingkungan kerja yang tidak inklusif dan berpotensi membuat karyawan merasa tidak nyaman.
  • Pengunduran diri paksa: Terkadang matahara dapat berbentuk pengalihan pekerjaan dan tanggung jawab karena stereotip bahwa ibu hamil tidak akan mengerjakan tugasnya dengan baik. Hal ini tentu dapat menghambat karier perempuan.
  • Kesulitan dalam proses kembali bekerja setelah cuti melahirkan: Karena pekerjaan nya yang dialihkan pada orang lain tentu mereka akan merasa sulit untuk kembali bekerja, apalagi dengan diskriminasi yang mereka dapatkan.

Bagi Perusahaan:

  • Risiko hukum: Tidak memberikan cuti kepada ibu hamil di Indonesia adalah bentuk pelanggaran terhadap hukum hak cuti karyawan. Perusahaan yang tetap melakukan praktek ini berisiko mendapat hukuman karena melanggar hak pekerjanya.
  • Reputasi negatif: Selain menerima hukum negara, perusahaan juga akan mendapat sanksi sosial yakni citra buruk di mata publik dan calon pelamar sebagai peprusahaan yang tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya.
  • Tingginya turnover: Rasa tidak aman yang tercipta dari adanya diskriminasi menyebabkan karyawan akan memutuskan untuk pergi. Hal ini berarti perusahaan harus melakukan rekrutmen ulang yang tentunya menambah biaya rekrutmen dan pelatihan ulang.
  • Produktivitas terganggu: Selain karyawan yang mengalami penurunan produktivitas karena rasa tidak nyaman, perusahaan juga akan kehilangan produktivitas karena kehilangan pekerja yang kompeten.

Regulasi Terkait Cuti Hamil di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah mengatur hak cuti hamil dan melahirkan melalui beberapa regulasi penting:

1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 82 & 84):

  • Pekerja perempuan berhak atas cuti hamil selama 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan setelah melahirkan (total 3 bulan).
  • Jika mengalami keguguran, berhak atas cuti 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter.
  • Selama masa cuti, pekerja tetap berhak atas upah penuh.
  • Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja perempuan karena kehamilan atau persalinan.

2. UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (KIA Law):

  • Hak cuti melahirkan minimal 3 bulan, dapat diperpanjang hingga 6 bulan jika diperlukan (berdasarkan rekomendasi medis).
  • Upah dibayarkan 100% untuk 4 bulan pertama dan 75% untuk 2 bulan berikutnya.
  • Perusahaan wajib menyediakan fasilitas pendukung seperti ruang laktasi, layanan kesehatan, dan dukungan kerja fleksibel.
  • Perlindungan terhadap PHK dan diskriminasi bagi ibu bekerja ditegaskan.

Peran Perusahaan dalam Mencegah Diskriminasi

1. Edukasi dan Sosialisasi: Menyelenggarakan pelatihan dan seminar mengenai hak-hak pekerja perempuan, maternity leave, dan anti-diskriminasi. Selain itu, mengedukasi manajer dan pimpinan agar peka terhadap isu gender dan tidak memperlakukan pekerja hamil secara berbeda. 

2. Memberikan Fasilitas dan Fleksibiltas: Menyediakan fasilitas seperti ruang menyusui, waktu kerja fleksibel, atau opsi kerja hybrid bagi ibu baru. Serta mendukung kebijakan return-to-work secara bertahap bagi karyawan pasca melahirkan.

3. Memantau dan Mengevaluasi: Memantau para pekerja terutama wanita hamil untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar. Serta melakukan evaluasi kinerja sang ibu hamil untuk membantu menyesuaikan kemampuan mereka.

4. Menjadikan Pemimpin sebagai Teladan: Berilah edukasi untuk pimpinan perusahaan dan pemimpin tim untuk menjadi contoh yang baik bagi karyawan lainnya. Berikanlah edukasi tentang pentingnya budaya kerja positif dan inkulisivitas.

5.  Memberikan Cuti yang Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan: Sebagai seorang ibu, tentu banyak hal yang harus mereka siapkan demi menyambut buah hatinya. Berilah cuti dan keringanan pekerjaan lainnya untuk mendukung proses mereka.

Maternity harassment adalah bentuk diskriminasi yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak nilai-nilai keadilan. Perusahaan memiliki peran dalam mendeteksi, mencegah, dan menghapus praktik-praktik diskriminatif ini dari lingkungan kerja. Dengan pemahaman yang baik terhadap regulasi, empati terhadap kondisi karyawan, serta kebijakan yang inklusif, tentu diskriminasi pada rekan kerja yang sedang hamil atau melahiran dapat dicegah. 

Tentang Penulis

Picture of Luna
Luna

Brianna Luna adalah penulis konten di LinovHR, ia membahas topik-topik HR, teknologi, dan dinamika dunia kerja modern.

Bagikan Artikel Ini :

Related Articles

Tentang Penulis

Picture of Luna
Luna

Brianna Luna adalah penulis konten di LinovHR, ia membahas topik-topik HR, teknologi, dan dinamika dunia kerja modern.

Artikel Terbaru